Pages

Kamis, 05 April 2018

BIOGRAFI KH. NAWAWIE BIN NOERHASAN


AHLI FIKIH YANG DERMAWAN

Kilas Balik Sidogiri


MENGUNGKAP sejarah perjalanan hidup Hadratussyekh KH. Nawawie bin Noerhasan secara rinci tidaklah mudah. Disamping saksi-saksi sejarah yang sulit ditemukan, “juga karena masa. hidup beliau terbentang antara tahun 1862-1929, pada saat itu Indonesia sedang mengalami masa-masa sulit akibat tekanan tekanan penjajah Belanda.

Nun jauh dari keramaian hiruk pikuk kota Pasuruan, terdapat sebuah pemukiman santri yang dirintis pertama oleh sang mujahid agung Mbah Sayid Sulaiman. Salah satu pesantren tertua di Indonesia ini mulai menapaki tangga perkembangan menuju ' kemajuan di bidang pendidikan, walaupun sistem yang digunakan masih klasik --seperti halnya Pemukiman-pemukiman santri lainnya kala itutapi tak menyurutkan semangat para petualang masa depan (baca: santri) untuk mereguk ilmu dari para pengasuhnya. Tak terhitung sudah berapa ulama yang telah berhasil menuai barakahnya. Syaikhul masyayikh (kiainya para kiai) mayoritas ulama Indonesia, Syaikhona Cholil Bangkalan, KHR. Syamsul Arifin (ayahanda KHR. As'ad Syamsul Arifin), dan KHR As’ad Syamsul Arifin Situbondo, adalah beberapa di antaranya.

Pemukiman santri yang kala itu hanya berupa deretan bilik-bilik cangkruk berdinding kusam kini telah menjelma gedung-gedung bertingkat. Setiap tahun penghuninya terus bertambah. Sistem pendidikannya pun sudah maju, walaupun tetap dengan orientasi as salaf al-sholih. Di pemukiman santri inilah Hadratussyekh KH. Nawawie dilahirkan, dibesarkan, dan mendapat didikan langsung dari sang ayah, KH. Noerhasan bin Noerkhotim, sebelum akhirnya beliau menuntut ilmu kepada salah seorang famili sekaligus santri ayahandanya di Bangkalan Madura, Syaikhona Cholil, dan kemudian dilanjutkan ke Mekah Al-Mukarramah

Menuntut Ilmu ke Bangkalan 

Kehidupan Kiai Nawawie muda dipenuhi dengan perjalanan mencari ilmu. Karena beliau tumbuh dewasa di lingkungan pesantren, apalagi di bawah pengawasan langsung sang ayahanda. Setelah memperoleh dasar-dasar pendidikan di lingkungan keluarganya, beliau menuntut ilmu ke pesantren milik Syaikhona Cholil Bangkalan yang sebenarnya masih tergolong familinya sendiri. Syaikhona Cholil dan Kiai Nawawie, sama-sama cicit dari Kiai Asror bin Abdullah bin Sulaiman Bangkalan (Bujuk Asror/Bujuk Langgundih), cucu Sayid Sulaiman yang bertempat tinggal di Bangkalan Madura.Orang Madura biasa menyebut hubungan famili antar cicit ini dengan du popoh (dua pupu), kelanjutan dari sepupu (misan).

Selain Kiai Nawawie, putra Kiai Noerhasan yang mondok di pesantren Syaikhona Cholil ini adalah kedua kakak beliau, KH. Bahar dan KH. Dahlan. Kiai Bahar mondok di pesantren Syaikhona Cholil ketika beliau berumur 9 tahun. Beliau terkenal memiliki ilmu ladunni, ilmu intuitif yang didapat langsung dari Yang Maha Kuasa. Dan pada usia yang masih relatif bocah, 12 tahun, Kiai Bahar sudah menjadi pemangku Pesantren Sidogiri. Sehingga beliau mendapat julukan “Kiai Alit” (kiai yang masih kecil).

Berbeda dengan kakaknya yang serba ilham itu, Kiai Nawawie mendapatkan ilmunya dengan “susah payah,. Sehabis belajar pada Syaikhona Cholil Bangkalan, beliau melanjutkan belajarnya ke Termas, Jawa Tengah, suatu kawasan yang banyak melahirkan ulama-ulama besar, seperti Syekh Mahfudz at-Termasi, ulama terkenal yang bermukim dan mengajar di Masjid al-Haram, Mekah.

Nyantri ke Mekah al-Mukarramah 

Setelah mondok di Termas, Kiai Nawawie menghabiskan masa mudanya di Mekah al-Mukarmmah. Di negara tempat lahirnya Islam itu, beliau mempelajari segala bidang ilmu pengetahuan Islam dengan tekun.

Konon, Kiai Nawawie nyantri di Mekah selama tiga tahap. Pertama, Kiai Nawawie ke Mekah ditemani oleh KHR. Syamsul Arifin, Situbondo. Setelah itu beliau kembali ke Sidogiri. Namun, tak lama kemudian Kiai Nawawie kembali lagi keMekah karena merasa ilmunya belum cukup, dan di samping, karena saat itu masih ada kakaknya, Kiai Bahar yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.Terakhir beliau kembali ke Mekah setelah diberi sebuah pertanyaan oleh sang kakak dan ternyata Kiai Nawawie tidak bisa menjawab. Kiai Nawawie kembali mondok ke Mekah seraya bersumpah tidak akan pulang selagi belum bisa “mengalahkan” kakaknya

Kiai Nawawie pulang dari Mekah setelah menerima kabar bahwa kakanya, Kiai Bahar, pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri saat itu telah berpulang ke rahmatullah, dan beliau diminta meneruskan tongkat estafet perjuangannya, mengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.

Kiai Nawawie menjadi pengasuh setelah banyak mengenyam pendidikan agama yang diperoleh dari petualangannya mencari ilmu. Beliau dikenal sebagai ulama yang zuhud dan wara” (baca: berhati-hati), di samping dikenal karena keluasan ilmunya, khususnya di bidang ilmu Fikih. Tak jarang Hadratussyekh KH. Hasyim Asy”ari, pendiri dan Rais Akbar NU, datang ke Sidogiri hanya sekadar bertukar pikiran masalah fiqhiyah bersama beliau.

Kehati-hatian Kiai Nawawie ini tercermin dari sikapnya yang selama mengajar tidak pernah menulis di papan tulis. Hal ini karena beliau khawatir debu sisa-sisa tulisan ayat al-Qufan terinjak oleh kawan santri nantinya.

Ikut Membidani Lahirnya NU 

Bermula dari beberapa organisasi kecil seperti Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, dan Syubbanul Wathan yang
didirikan oleh KH. A. Wahab Hasbullah, tak lama kemudian melebur menjadi organisasi keagamaan terbesar di Indonesia: Nahdlatul Ulama (NU). Kiai Nawawie adalah salah satu ulama

yang ikut membidani lahirnya organisasi kebanggaan warga Ahlusunah wal Jamaah ini. Alkisah, saat KH. A. Wahab Hasbullah menghadap KH. Hasyim Asy’ari untuk mengutarakan niatnya mendirikan sebuah organisasi keagamaan, beliau menyarankan agar mengkonsultasikan terlebih dahulu kepada KH Nawawie Sidogiri. Maka atas saran gurunya tersebut, Kiai Wahab Hasbullah datang ke Sidogiri untuk menemui Kiai NawaWie. Setelah Kiai Wahab menyampaikan maksud kedatangannya,

Kiai Nawawi menyarankan agar dimusyawarahkan dulu dengan para ulama Pasuruan. Kemudian kedua ulama tersebut sepakat untuk membicarakannya di Masjid Jami” Pasuruan. Dari pembicaraan pertama di Masjid Jami” Pasuruan inilah kemudian dilanjutkan dengan pertemuan para ulama di rumah Kiai Wahab Hasbullah pada tanggal 31 Januari 1926 M yang kemudian sepakat mendirikan sebuah organisasi keagamaan yang diberi nama Nahdlatul Ulama yang disingkat NU. Latar belakang berdirinya NU tidak lepas dari keprihatinan para ulama terhadap situasi negara dan kondisi keagamaan masyarakat dunia Islam. Perkembangan dunia internasional pada masa itu, khususnya dunia Islam, bisa dibaca lewat dihapusnya sistem khilafah oleh pemerintahan Kemalis Republik Turki. Bagaimanapun juga penghapusan sistem khilafah menyebabkan banyak masyarakat Muslim, terutama di daerah jajahan Inggris dan Belanda, merasa terpukul dan kehilangan orientasi.

Syarif Husain, penguasa kota-kota .suci Islam setelah runtuhnya Daulah Ustmaniyah pada 1916, berusaha menegakkan kembali dinasti khilafah. Beliau membentuk sebuah dewan penasehat Khalifah(presiden) dan mengadakan Muktamar aI-Hajj (Kongres Haji) di Mekah pada bulan Juli 1924. Tapi sayang sekali, muktamar ini gagal mencapai kata sepakat sebagaimana yang diharapkan oleh Syarif Husain. Sehingga beberapa bulan kemudian (tepatnya Oktober 1924), Abd. Aziz ibn Saud menyerbu Mekah dan membuyarkan citacita kembalinya dinasti khilafah. Abd. Aziz ibn Sa’ud terkenal dengan ide dan akidah Wahabinya yang bagi ulama Indonesia bisa menimbulkan problem lain, karena masalahnya yang bersinggungan dengan Ahlusunah wal Jamaah.

Pada tahun 1925, di Kairo, atas inisiatif ulama al-Azhar yang didukung raja Mesir, Fuad, beberapa ulama mengadakan persiapan untuk menyelenggarakan kongres khilafah sebagai kelanjutan dari cita-cita Syarif Husain. Walaupun akhirnya kongres ini tertunda sampai bulan Mei 1926. Pada tahun yang sama antara Juni-Juli, Raja Abd. al-Aziz ibn Sa'ud juga mengadakan kongres tandingan di Mekah. Penentuan pilihan antara kongres di Kairo atau Mekah inilah yang menimbulkan perdebatan panjang sampai meruncing menjadi perselisihan antara berbagai aliran Islam di Indonesia; Aliran modernis yang diwakili oleh Syarikat Islam dan Muhammadiyah dengan aliran tradisionalis yang belum mempunyai wadah resmi organisasi, kecuali perkumpulan-perkumpulan kecil bikinan KH. Wahab Hasbullah berupa Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, dan Syubbanul Wathan.

Bagi Muslim tradisionalis Indonesia, yang sangat terikat pada praktek-praktek keagamaan yang dikutuk kaum Wahabi itu, penaklukan atas Mekah merupakan peristiwa mencemaskan. Kaum tradisionalis menghendaki agar utusan Indonesia yang akan datang ke kongres Mekah meminta jaminan kepada Ibn Sa’ud agar dia mau menghormati mazhabmazhab Fikih dan memperbolehkan berbagai praktek keagamaan tradisional.

Dengan latar belakang situasi nasional bahkan internasional itulah, kemudian eksponen dalam Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, dan Syubbanul Wathan yang pada hakekatnya satu aliran -baik dalam akidah maupun ibadahmeleburkan diri dalam satu ikatan Komite Hijaz dibawah pimpinan KH. Wahab Hasbullah. Tokoh-tokoh ulama seperti KH. Hasyim Asyari, KH. Bisyri Syansuri (keduanya dari Jombang), KH. Ridlwan (Semarang), KH. R. Asnawi (Kudus), KH. Nawawie (Pasuruan), KH. Nahrawi (Malang), KH. Alwi bin Abdul Aziz (Surabaya) dan masih ada beberapa ulama lainnya, semuanya berkumpul di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Dalam pertemuan tersebut diambil keputusan sebagai berikut:


1. Mengirim delegasi ke Kongres Dunia Islam di Mekah untuk memperjuangkan kepada Raja Ibn Sa’ud agar hukum-hukum menurut madzahib al-Arba'ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaannya.

2. Membentuk suatu jam'iyah bernama Nahdlatul Ulama yang bertujuan menegakkan berlakunya syariat Islam yang berhaluan pada salah satu dari empat madzhab jam'iyah ini disusun dengan struktur kepengurusan model syuriyah dan tanfidziyah.

Dalam catatan Aboe Bakar Atjeh, KH. Nawawie bin Noerhasan termasuk salah satu pengurus pertama organisasi Islam yang berdiri pada. bulan Januari 1926 ini, bersama KH. Ridlwan Mujahid (Kudus), KH. Doro Munthaha (Bangkalan), Syekh Ahmad Ghana'im (Surabaya asal Mesir), dan KH. Rd. Hambali.
Kiai Nawawie duduk di dewan mustasyar (penasehat) Nahdlatul Ulama periode pertama. Beliau menjadi mustasyar NU sampai akhir hayatnya.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Tlg di jelaskan makam yg ada di depan itu kan ada makam kyai Siroj dan kyai sirojul Millah waddin matur nuwun

Posting Komentar