Pages

Minggu, 08 April 2018

KH.ABD. ADZIM BlN OERIP


WALI YANG SALAMNYA DI JAWAB OLEH NABI MUHAMMAD SAW


Mengangkat biograli kehidupan KH. Abd. Adzim, ternyata tidak mudah. Disamping tentang masa yang cukup jauh, cerita-cerita tentang beliau kadang simpang siur informasinya. Sebab menjalar dari mulut ke mulut, sehingga terjadilah penambahan ataupun perubahan tanpa disadari. Maka inilah hasilnya.
Sekitar tahun 1 879 M, lahirlah bayi mungil dari pasangan KH. Abdul Hayyi -atau yang dikenal dengan nama Kiai Oeripdengan Nyai Munawwarah binti KH. Noerhasan, adik KH. Nawawie bin Noerhasan Sidogiri. Bayi itu lahir di Sladi, Kejayan, Pasuruan. Kemudian dikarenakan berselisih pendapat dalam menentukan nama bayi tersebut, kedua orang tuanya berpisah. Kiai Oerip ingin nama “Sibawaih” untuk putranya, sedang Nyai Munawwarah ingin memberi nama “Abdul Adzim”. Akibat perbedaan itu tidak menemukan jalan tengah, terjadilah firaq antara keduanya. Pada akhirnya, jadilah bayi itu diberi nama Abdul Adzim. Ternyata nama Abd. Adzim bukanlah sembarang nama, hingga Nyai Munawwarah rela bercerai demi mempertahankan nama itu untuk putra pertamanya…

Lalu Kiai Oerip menikah lagi, begitu pula Nyai Munawwarah. Sehingga KH. Abd. Adzim tidak punya saudara seayah kandung. Dari jalur ayah, beliau mempunyai tiga saudari. Yaitu Nyai Husnah, Nyai Cholilah/ Nyai Ramlah, dan Nyai Lathifah. Sedangkan dari ibunya, beliau mempunyai tiga saudari, yakni Nyai Husnah, Nyai Sufayyah, dan Nyai Haniah. Kalau diteliti lebih lanjut, nasab KH. Abd. Adzim dari jalur ayah sampai pada Mbah Arif Segoropuro, adik Mbah Sayid Sulaiman. Sedang nasab dari jalur ibu, keturunan Mbah Sayid Sulaiman, pembabat Sidogiri.

Beliau hidup dan besar di lingkungan pesantren di Sladi sebelum hijrah ke Sidogiri. Namun ada yang mengatakan, beliau ikut KH. Nawawie sejak kecil. Semasa kecil, beliau bergaul dan bermain layaknya anak-anak sebayanya, hanya sejak kecil sudah tampak bahwa beliau kelak akan menjadi seorang tokoh yang disegani. Pada masa usia belianya banyak kejadian aneh yang beliau alami. Suatu peristiwa unik terjadi ketika beliau menginjak usia remaja, saat itu beliau masih berumur sekitar 15 tahun. Sladi waktu itu orang-orangnya terkenal mempunyai ilmu kanuragan. Sehingga ada serdadtl Belanda yang penasaran, dia datang ke sana dan bertanya kepada KH. Abd. Adzim yang sedang bersama Mbah Syaikh; kata orang Belanda itu, “Apa benar disini tempatnya orang 5akti?” dengan rendah hati KH. Abd. Adzim mengatakan kalau orang sakti tidak ada, yang ada hanya gurauan. Lantas beliau mempraktekkan gurauan itu dengan Mbah Syaikh, dengan cara bergantian menggendong dari barat ke timur tiga kali, dengan jarak yang sudah ditentukan. Setelah itu, beliau menantang serdadu Belanda untuk melakukan hal serupa. Serdadu itu mengiyakan saja, karena dilihatnya Abd. Adzim kecil dan kurus. Serdadu itu minta digendong lebih dahulu.

Maka dia digendong sekali putaran dari jarak yang sudah ditentukan, tapi Abd. Adzim muda tidak tampak kelelahan. “Kali ini giliran saya”, kata beliau. Ketika beliau naik ke punggung serdadu Belanda yang besar dan kekar, serdadu itu tidak bisa melangkahkan kakinya, malah sedikit demi sedikit kakinya terbenam ke dalam tanah. Semakin bergerak, kakinya semakin terbenam. Bahkan serdadu itu terbenam ke dalam tanah hingga dadanya. Akhirnya, kata Abd. Adzim muda “Ini lho, gurauannya orang pesantren!”.

Abd. Adzim muda belajar pada ayahnya sendiri, Kiai Oerip. Beliau juga belajar pada pamannya, KH. Nawawie di Sidogiri. Kemudian beliau mondok di Mekah selama kurang lebih 13 tahun, beguru pada Syekh Abbas. Namun ada yang mengatakan, beliau di sana hanya 5 tahun. Menurut versi yang lain lagi, beliau di Mekah selama 14 tahun. Yakni, setelah 11 tahun di sana, beliau pulang ke tanah air. Kemudian beliau kembali lagi ke Mekah selama 3 tahun, lantaran tidak bisa menjawab pertanyaan abahnya.
Masjid Jamik Sidogiri Tempoe doeloe

Semasa beliau berada di Mekah, suatu ketika kota itu tertimpa paceklik. Akhirnya, karena tidak menemukan sesuatu yang bisa dimakan, beliau mengambil sapu tangan, lalu dicelupkan ke air zamzam. Kemudian beliau meminum air hasil perasan sapu tangan itu. Hal itu berlangsung sampai beberapa hari. Kiai Abd. Adzim berada di Mekah, konon sampai menjadi mushahhih. Banyak mualif kitab yang menashihkan kitabnya kepada beliau.
Sebelum mondok di Mekah, Kiai Abd. Adzim sudah bertunangan dengan sepupunya sendiri. Namun ternyata Allah SWT, berkehendak lain, pertunangan itu putus di tengah jalan,, Akhirnya, sepulang dari Mekah beliau diambil menantu KI-L Nawawie bin Noerhasan Sidogiri. Beliau menikah dengan Nyai Fatimah, putri sulung KH. Nawawie dari istri pertama, yaitu Nyai Ru'yanah. Nyai Fatimah juga sepupu beliau.

KH. Nawawie mengambil menantu beliau karena termasuk keponakannya sendiri. Lagi pula ada yang 'mengatakan, karena beliau ikut KH. Nawawie sejak kecil, sehingga Kiai Nawawie tahu betul bagaimana kepribadian beliau. Sejak muda beliau sudah dikenal dengan kepribadian Tasawuf, khusyuk, takzim, serta taat pada gurunya. Disamping itu beliau juga tekun dalam belajar dan aktif dalam segala hal yang berhubungan dengan ilmu. Tak heran KH. Nawawie memilih beliau sebagai menantu pertamanya.

Sosok Sufi yang Suka Bekerja Sendiri 

Khusyuk, tawaduk, dan istikamah adalah sifat yang sangat menonjol dalam kepribadian Kiai Abd. Adzim. Wam’ dan

zuhud sudah tertanam pada diri beliau sejak masa mudanya. Beliau adalah sosok yang istikamah, bahkan tidak ada satupun perbuatan baik yang beliau kerjakan tanpa disertai dengan keistikamahan, seperti salat berjamaah. Beliau juga senang berpuasa pada hari Senin dan Kamis.

Selain sebagai sosok wam', Kiai Abd. Adzim juga seorang figur low profile (Khumul), sehingga kehidupan sehari-harinya sangat sulit diketahui, kecuali oleh orang-orang dekatnya. Beliau selalu ada di dalam kamar khususnya (surau G), kecuali waktu salat atau berketepatan ada undangan. Dan jarang sekali masuk ke dalemnya, kecuali bila ada keperluan mendesak seperti tamu. Beliau sangat jarang berbicara, kecuali pembicaraan yang berguna atau memang diminta untuk berbicara. Beliau lebih suka diam. Namun kalau sudah berbicara, maka pembicaraannya menjadi pusat perhatian dan petuahnya banyak diikuti orang. Pernah terjadi perselisihan dalam masalah arah kiblat Masjid Jami” Pasuruan. Perselisihan itu berawal dari perkataan seorang ahli Falak asal Bangil, bahwa posisi masjid jami' tidak lurus ke Kakbah, sampaisampai dia tidak mau salat Jumat di situ. Akhirnya Kiai Abd. Adzim didatangkan dan beliau berkata, “Ini sudah lurus ke Kakbah. Kalau tidak percaya, beli benang, luruskan sendiri. Ini sudah lurus.” Maka kata ahli falak tersebut, “Karena Kiai Abd. Adzim yang bilang, saya percaya.” Selesailah perselisihan.


Sebagai sosok pribadi sufi, Kiai Abd. Adzim orangnya sederhana. Pernah ada cucu kesayangan beliau yang biasanya minta apa saja dituruti, suatu ketika dia minta arloji dari Kiai. Kali ini Kiai memarahinya, “Buat apa arloji? Riya' iku riya' !!! Pada waktu itu arloji masih merupakan barang mewah, sehingga kalau orang memakainya biasanya dibuat gaya-gayaan.

Dalam kaitannya dengan interaksi sosial, beliau mempunyai prinsip “Sayyidul-qaumi khadimuhum ” (Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka). Tidak pernah memerintah, bahkan seakan-akan ingin diperintah. Terbukti beliau sendiri yang
memukul bel masuk sekolah dan kegiatan lain. Beliau juga yang menabuh beduk jika waktu salat telah tiba. Hal ini belau kerjakan agar menjadi contoh pada yang lain.

Kendati demikian, beliau sangat disegani masyarakat. Beliau suka bergurau dengan mereka dan selalu menghadiri undangannya. Biasanya, ketika dalam majlis ada yang melakukan ghibah, disitulah beliau berkelakar untuk memalingkan mereka dari pekerjaan ngerasani. Hal itu beliau lakukan hanya untuk menyelamatkan majlis dari ghibah. Ketika sudah menginjak usia senja, beliau jarang pergi menghadiri undangan. Kalau diundang beliau biasanya menjawab, “Sudah, saya mendoakan dari sini saja.” Kiai juga suka bersilaturahmi pada sanak familinya. Dan jika menjadi tuan rumah, beliau sangat menghormati tamu. Kalau makan, beliau memanggil keponakan-keponakannya yang masih kecil untuk makan bersama.
Santri Sidogiri

Dalam mendidik santri, Kiai Abd. Adzim tidak suka marah. Tapi kalau sudah melihat santri melanggar syariat, semisal ramai di masjid, beliau sangat murka. Sebaliknya, dalam masalah pribadi, beliau adalah sosok yang sangat sabar. Suatu ketika beliau ada di dalam jeding khususnya (di utara Surau G, sekarang dijadikan kamar santri). Lalu ada santri berlari-lari karena kebelet kencing. Santri itu tidak melihat Kiai Abd. Adzim yang mungkin sedang jongkok di dalam jeding, karena ketika itu jeding gelap. Kencingnya mengenai tubuh Kiai. Tapi Kiai diam saja, tidak marah. Setelah santri itu keluar, Kiai memanggil keluarganya dan minta diambilkan pakaian ganti.

Dalam hal berpakaian, beliau tidak mempermasalahkan, selain yang ada hubungannya dengan Ubudiyah. Bahkan beliau tidak mau pakaiannya dicuci, kecuali terkena najis. Kalau najis, najisnya saja yang disucikan. Bahkan ada seorang . santri dari Bondowoso yang akrab dengan beliau, diam-diam mengambil pakaian beliau dan mencucikannya. Dalam memakai baju, terkadang beliau memakai baju rangkap, 3-5 lapis. “Kasihan orang yang sudah memberi,” kata beliau ketika ada orang bertanya akan hal itu. Baju putih . merupakan kesenangan beliau. Jubah menjadi trade merk-nya.

Kalau dalam keadaan sakit. Kiai Abd. Adzim tidak mau berobat. Beliau pernah sakit Tipus. Kiai Sa'doellah, adik iparnya, menyarankan untuk berobat, tapi beliau menjawab, “Penyakit itu tamu. Kasihan kalau baru datang dikeluarkan.

Nanti kalau sudah waktunya, akan keluar sendiri. Kalau dikeluarkan, nanti penasaran lalu kembali lagi.” Dalam mengonsumsi jamu, Kiai Abd. Adzim suka menggunakan jamu susu dan telor. Beliau lebih memercayai jamu itu daripada resep yang diberikan oleh dokter. Karena beliau mengetahui betul dari bahan apa obat itu dibuat dan siapa yang membuat. Bukan karena beliau tidak mampu untuk berobat.

Kiai Abd. Adzim tidak pernah sewenang-wenang menyuruh santrinya, seperti menyapu dan lainnya. Ketika ditanya akan hal itu, beliau menjawab, “Santri itu dimondokkan di sini untuk mencari ilmu, bukan untuk disuruh menyapu.” Meskipun beliau berhak untuk menyuruh santrinya, tapi beliau lebih suka tidak memakai haknya. Begitu juga istri beliau, Nyai Fatimah. Kiai Abd. Adzim-sebagaimana almagfurlah Kiai Hasani-lebih suka kerja sendiri. Tidak gampang menyuruh orang, walaupun untuk belanja ke pasar dan harus membawa barang-barang, tidak mengenal gengsi. Suatu ketika Kiai membeli ayam di Ngempit. Ayam itu beliau bawa sendiri, sekalipun lewat di hadapan kerumunan santri. Pedoman beliau adalah, “shahibus syai'i aula bila hamil" sebagaimana tertera dalam kaidah. “Siapa yang punya, dialah yang berhak membawa,” bukan orang lain.
Pendidikan ini beliau tekankan pada keturunannya. Bahkan pekerjaan rumah tanggapun, beliau sendiri yang melakukannya.

Konon, beliau mempunyai keahlian membuat kecap. Karenanya, beliau memilih mengonsumsi kecap hasil racikan sendiri daripada kecap yang dibeli dari toko. Sebab beliau meragukan proses pembuatannya.

Bila membeli sesuatu, Kiai tidak pernah pilih-pilih, asalkan bisa dipakai, sudah cukup. Misalnya, ketika membeli dokar, beliau memilih yang sederhana, asalkan bisa dipakai. Kalau ada penjual yang ketepatan jualannya tidak laku, beliau beli semua. Beliau juga sangat bijak dalam jual beli barang, tidak suka merugikan orang lain. Suatu ketika, beliau menentukan harga kuda pada Kiai Baqir, menantunya, sebesar Rp. 2.500,-, ternyata kuda itu ditawar orang dengan harga Rp. 2000,-. Kemudian Kiai Baqir tidak memperbolehkannya, sebab harganya tidak sampai pada harga yang ditetapkan oleh beliau. Keesokan harinya, kuda itu mati. Melihat kejadian itu, Kiai Baqir melaporkan pada Kiai Abd. Adzim dan mengatakan, “Kok seandainya kuda itu diberikan, maka kita masih untung dan mendapatkan uang. ” Tapi apa tanggapan Kiai? “Justru karena tidak kamu berikan, kita mendapat keuntungan Karena tidak merugikan orang lain.”

BERSAMBUNG
Disarikan dari buku 9 jejak masyayikh Sidogiri




Jumat, 06 April 2018

BIOGRAFI KH. NAWAWIE BIN NOERHASAN part II

Sosok Dermawan 

Kiai Nawawie hidup pada masa mencuatnya revolusi fisik di Nusantara. Saat itu Indonesia berjuang sekuat tenaga merebut kemerdekaan, dan pesantren berada di garda terdepan dalam perjuangan melawan penjajah Belanda. Kiai Nawawie pun tak tinggal diam. Sebagaimana umumnya pesantrenpesantren lain waktu itu, Kiai Nawawie menjadikan Sidogiri sebagai markas perjuangan melawan penjajah. Kiai yang masih cucu ke-4 Sayid Sulaiman ini membekali santrinya dengan berbagai ijazah ilmu kanuragan untuk melawan Belanda, seperti ijazah ayat Lima, ayat Tujuh, dan ayat Lima Belas.

Banyak hal yang patut ditiru dan diteladani dari beliau. Keistikamahan dalam menjalankan ajaran-ajaran agama, ketekunan, dan kesabaran beliau dalam mendidik dan membimbing santri-santrinya, serta kedalaman ilmu yang dimilikinya menjadikan beliau sangat disegani dan dihormati dikalangan para ulama.

Di antara sifat-sifat beliau yang paling menonjol adalah sifat sakha' (dermawan)-nya. Banyak cerita-cerita menarik yang menggambarkan kedermawanan beliau. Pernah suatu hari beliau kedatangan tiga orang tamu. Selesai menyampaikan keperluannya, ketiga tamu itupun pamit. Tak lupa ketiga tamu ini menyisihkan uang masing-masing sebanyak 25 ringgit untuk dibuat salam tempel kepada beliau. Baru beberapa menit ketiga tamu itu pergi, datanglah tiga tamu lain yang , bermaksud minta sedekah. Maka tanpa berpikir panjang, uang pemberian ketiga tamu pertama tadi langsung diberikan kepada mereka. Masing-masing mendapat 25 ringgit. Padahal saat itu beliau sangat membutuhkannya untuk keperluan beliau sendiri.

Kiai Tholhah, Warungdowo, salah seorang teman beliau, yang kebetulan menyaksikan hal itu, merasa heran, “Kiai, mengapa dikasihkan semua, dikasih 5 ringgit kan sudah cukup. Apalagi Kiai juga sangat membutuhkan uang?” tanya Kiai Tholhah penasaran. “Untuk apa saya menahan uang itu, wong saya ini hanya talang yang berfungsi mengalirkan air,” jawab beliau mengibaratkan. (Sekadar diketahui, harga seekor sapi saat itu hanya 5 ringgitl

Ada satu hal unik dan menarik yang mungkin sulit sekali Untuk dicari bandingannya pada orang lain, yaitu kebiasaan beliau memberikan apa saja yang diinginkan orang lain, kendatipun baju atau sarung yang sedang beliau pakai. Saat menghadiri undangan, bila ada yang melihat atau melirik baju atau sarung yang sedang beliau pakai, maka beliau akan bertanya, “Kamu kok melihat baju saya?”. Bila dijawab, “Baju Kiai bagus,” kontan saja baju itu diberikannya. Sehingga tak * jarang beliau pulang dari satu acara hanya berkaos oblong dan bercelana pendek di bawah lutut saja, sebab pakaiannya telah diberikan kepada mereka yang memintanya. Ketika ada orang yang mau berhutang dan kebetulan beliau tidak punya, maka beliau tidak akan membiarkan orang itu pulang dengan tangan hampa. Beliau akan mencari pinjaman kesana-kemari untuk diberikan kepada mereka. Celakanya, banyak di antara mereka yang tidak mampu melunasi hutang itu. Sehingga ketika wafat, Kiai banyak menanggung hutang. Padahal Kiai Nawawie tidak punya cukup harta untuk melunasi hutang tersebut. Hingga kitabkitab peninggalannya dilelang untuk melunasi hutang.
asrama Daerah G 

Sifat dermawan ini bukanlah sifat yang muncul sesudah . beliau menjadi seorang kiai, melainkan merupakan sifat pembawaan beliau sejak kecil. Suatu hari, sewaktu mondok di Mekah, salah seorang guru” beliau membutuhkan uang sebanyak 200 dirham. Kiai Nawawie ingin sekali membantu gurunya tersebut. Seketika Kiai Nawawie ingat di kamarnya itu ada kantong yang penuh berisikan uang. Maka tanpa dihitung berapa jumlahnya, sekantong uang itu diberikan kepada gurunya.

Tentang sifat kedermawanan Kiai Nawawie, cukuplah kita mengutip perkataan beliau pada seorang putrinya, Nyai Hj. Hanifah (ibunda KH. Abd. Alim bin Abd. Djalil), “Aku seneng due duwe' iku waktu dibagi-bagi (Saya merasa senang kepada uang itu saat saya membagi-bagikannya) ”.

Kiai Nawawie juga dikenal seorang zahid dan tidak pernah memanjakan nafsunya. Saat makan tidak pernah sampai merasa kenyang. Sebab, begitu merasa nikmatnya makan langsung berhenti, kendati hanya tiga pulu'an (suapan). Demikian juga bila merokok, tidak pernah sampai habis, asal sudah merasa nikmatnya merokok, langsung berhenti.

Sederhana dan menjauhi kemewahan adalah gaya kehidupan Kiai Nawawie sehari-hari. Rumah .serta alat-alat rumah tangga jauh dari kesan mewah. Padahal beliau bisa untuk memiliki barang yang sangat mewah sekalipun. Ketika musim hujan, dalem yang beliau tempati seringkali basah, karena banyak genteng yang bocor. Dalam pandangan Kiai Nawawie, hidup mewah di dunia akan mengurangi kenikmatan hidup di Surga.

Ahli Fikih
Di kalangan ulama, Kiai Nawawie terkenal kedalamannya dalam ilmu' Fikih. Malah, KH. Hasyim Asyari, jika mempunyai permasalahan fiqhiyah, beliau datang__ke Sidogiri untuk bertanya kepada Kiai Nawawie.

Syaikhuna KH. Hasani bin Nawawie sewaktu masih muda pernah sowan kepada .al-Arif Billah KH. Ma’ruf, Kedunglo Kediri, salah seorang teman Kiai Nawawie ketika mondok di Mekah. Setelah mengetahui Kiai Hasani adalah putra Kiai Nawawie, Kiai Ma’ruf bertanya, “Kamu hafal naz/mm kitab Alfiyah?” Kiai Hasani menjawab, “Tidak, Kiai.” Mendengar jawaban Kiai Hasani, dengan agak kecewa Kiai Ma’ruf berkata, “Semenjak Kiai Nawawie wafat, dari Pasuruan sampai ke timur
tak ada lagi orang alim. Kamu sebagai putranya, kitab alfiyah Saja. tidak hafal!” Perkataan Kiai Ma’ruf itu merupakan lecutan semangat agar Kiai Hasani muda meneruskan tradisi keilmuan abahnya. Ada cerita menarik berkenaan dengan kealiman Kiai Nawawie. Alkisah, ada seorang pemuda dari Kudus Jawa Tengah, bernama Subadar (ayah KH. Muhammad Subadar, Besuk Pasuruan) punya hobi mengembara menuntut ilmu dari satu tempat. ke tempat lain. Sudah bertahun-tahun Subadar ini berpetualang mencari ilmu di berbagai pelosok Jawa Tengah. Pindah dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Sampai beberapa lama mengembara, Subadar masih belum menemukan guru yang dianggap betul-betul alim dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Bahtsul Masail Fiqih Sidogiri
Kemudian pergilah ia ke arah timur menyisir pesantrenpesantren di Jawa Timur. Lama ia mencari, sampai akhirnya Subadar tiba di pesantren Kiai Yasin, Pasuruan. Mengetahui maksud Subadar, Kiai Yasin menyarankan agar ia belajar kepada Kiai Nawawie Sidogiri.

Subadar tertarik dan langsung nyantri di Sidogiri. Pertama ikut ngaji, ia langsung merasa cocok, sebab Kiai Nawawie jika mulang kitab, jarang sekali memberi makna, apalagi menerangkan. Waktu itu memang yang. mengaji kepada Hadratussyekh adalah santri-santri senior. Bahkan tak jarang yang sudah jadi kiai.

Diam-diam Kiai Nawawie mengetahui perihal sikap Subadar yang sudah merasa alim. Suatu ketika, pada saat memberikan pelajaran ilmu Falak, sengaja beliau tidak menerangkan dan langsung menunjuk Subadar untuk menjelaskan. Subadar pun gelagapan, karena dalam ilmu Falak

dia sama sekali tidak mengerti. Sejak saat itulah perasaan merasa alim dibuangnva iauh-iauh. Dan ia nun meniadi salah satu santri kesayangan Hadratussyekh, hingga kemudian Kiai Subadar dinikahkan oleh Hadratussyekh dan disuruh menetap di Besuk Pasuruan.

Bisa digambarkan! bahwa perjalanan hidup beliau ' merupakan perjalanan hidup penuh pengabdian kepada agama dan bangsa. Bolehlah jasa dan perjuangannya tidak banyak diketahui masyarakat, sebab beliau memang tidak pernah menginginkan orang lain menghitung berapa jasa yang telah diabdikannya, namun peninggalan sebuah pesantren besar yang telah mencetak tokoh-tokoh besar sudah menjadi saksi pengabdian beliau.

Wafatnya Kiai Nawawie 

Pagi itu, Jumat 25 Syawal 1347 H Kiai Nawawi diundang untuk melaksanakan salat jenazah. Beliau mengatakan kepada pengundang agar menunggunya sebentar. Lalu beliau masuk ke mihrab (tempat untuk menyendiri menghadap Tuhan)-nya. Lama mereka menunggu, namun Kiai belum juga keluar. Kata para santri, biasanya Kiai masih melaksanakan salat Duha. Beliau memang istikamah melaksanakan salat Dhuha sebelum membuka pengajian di surau. Tapi, setelah lama ditunggu, Kiai belum juga keluar; Para santri mulai gelisah.

Akhirnya, salah seorang dari mereka memberanikan diri mengintip dari celah-celah lobang kunci. Dilihatnya Kiai sedang sujud. Ditunggu lagi sampai beberapa saat, namun beliau belum juga keluar. Akhirnya santri itu mengintipnya lagi. Subhanallah, santri itu terkejut setelah melihat ada busa
bercampur darah keluar dari mulut Kiai. Spontan tamu dan santri itu menggedor pintu yang sedang terkunci. Ternyata Kiai telah memenuhi panggilan Sang Khalik ketika sedang sujud di hadapan-Nya. Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un
Silsilah Sidogiri

Berita wafatnya Kiai Nawawie tersebar dengan cepat ke pelbagai pelosok. Beliau memang sosok ulama karismatik yang memiliki pengaruh kuat yang luar biasa di kalangan masyarakat Jawa Timur saat itu. Tak selang berapa lama mereka telah berbondong-bondong ingin bertakziah. Lautan manusia membuat sesak Sidogiri. Mereka rela berjejal-jejal di bawah terik matahari untuk memberi penghormatan terakhir kepada ulama sepuh yang amat disegani itu. Para pelayat membentuk antrean memanjang sekitar 7 km dari arah utara, Kraton, dan arah timur, Warungdowo, sampai Sidogiri.
Aktivitas masyarakat Pasuruan macet total. Mereka betulbetul terhanyut dalam suasana berkabung, Kiai yang menjadi panutan utama mereka telah tiada.

Kepergian guru ulama-ulama besar Jawa Timur itu tidak hanya ditangisi oleh masyarakat Muslim, non Muslim pun ikut berduka. Pihak kompeni yang saat itu menduduki' Pasuruan turut bersimpati. Teriring mangkatnya Kiai Nawawie bin Noerhasan ini, semua jenis angkutan umum jurusan Surabaya dan Malang digratiskan untuk masyarakat yang ingin bertakziah. Tidak cukup itu, kendaraan mereka pun dikeluarkan untuk mengangkut ribuan umat yang hendak menghadiri prosesi pemakaman beliau.

Ada kejadian unik saat beliau dimandikan. Air yang dibuat memandikan jenazah beliau tidak sampai jatuh ke tanah, karena orang-orang yang hadir saat itu berebutan menadahinya dan dibawa pulang. Mereka yakin air itu penuh barakah. Perjalanan hidup Kiai Nawawie memang sulit
digambarkan secara rinci. Sifat khumul (tidak ingin namanya terkenal dan disebut-sebut orang) yang mewarnai perjalanan hidupnya membuat aktivitas beliau tidak banyak diketahui khalayak. Hari-harinya lebih banyak dihabiskan untuk mulang santri yang mengaji di surau. Sifat khumul ini terus diwarisi oleh generasi-generasi beliaudan menjadi ciri khas ulamaulama Sidogiri hingga saat ini.

Sepeninggal Kiai Nawawie, Pondok Pesantren Sidogiri kemudian dipangku oleh menantunya, KH Abd. Djalil bin Fadlil, santri Kiai Nawawie yang masih keturunan Sayid Abu Bakar asy-Syatha ad-Dimyathi, pengarang kitab Hasyiah I'anah ath thalibin

Dikutip dari buku jejek langkah 9 masyayikh Sidogiri

Kamis, 05 April 2018

BIOGRAFI KH. NAWAWIE BIN NOERHASAN


AHLI FIKIH YANG DERMAWAN

Kilas Balik Sidogiri

MENGUNGKAP sejarah perjalanan hidup Hadratussyekh KH. Nawawie bin Noerhasan secara rinci tidaklah mudah. Disamping saksi-saksi sejarah yang sulit ditemukan, “juga karena masa. hidup beliau terbentang antara tahun 1862-1929, pada saat itu Indonesia sedang mengalami masa-masa sulit akibat tekanan tekanan penjajah Belanda.

Nun jauh dari keramaian hiruk pikuk kota Pasuruan, terdapat sebuah pemukiman santri yang dirintis pertama oleh sang mujahid agung Mbah Sayid Sulaiman. Salah satu pesantren tertua di Indonesia ini mulai menapaki tangga perkembangan menuju ' kemajuan di bidang pendidikan, walaupun sistem yang digunakan masih klasik --seperti halnya Pemukiman-pemukiman santri lainnya kala itutapi tak menyurutkan semangat para petualang masa depan (baca: santri) untuk mereguk ilmu dari para pengasuhnya. Tak terhitung sudah berapa ulama yang telah berhasil menuai barakahnya. Syaikhul masyayikh (kiainya para kiai) mayoritas ulama Indonesia, Syaikhona Cholil Bangkalan, KHR. Syamsul Arifin (ayahanda KHR. As'ad Syamsul Arifin), dan KHR As’ad Syamsul Arifin Situbondo, adalah beberapa di antaranya.

Pemukiman santri yang kala itu hanya berupa deretan bilik-bilik cangkruk berdinding kusam kini telah menjelma gedung-gedung bertingkat. Setiap tahun penghuninya terus bertambah. Sistem pendidikannya pun sudah maju, walaupun tetap dengan orientasi as salaf al-sholih. Di pemukiman santri inilah Hadratussyekh KH. Nawawie dilahirkan, dibesarkan, dan mendapat didikan langsung dari sang ayah, KH. Noerhasan bin Noerkhotim, sebelum akhirnya beliau menuntut ilmu kepada salah seorang famili sekaligus santri ayahandanya di Bangkalan Madura, Syaikhona Cholil, dan kemudian dilanjutkan ke Mekah Al-Mukarramah

Menuntut Ilmu ke Bangkalan 

Kehidupan Kiai Nawawie muda dipenuhi dengan perjalanan mencari ilmu. Karena beliau tumbuh dewasa di lingkungan pesantren, apalagi di bawah pengawasan langsung sang ayahanda. Setelah memperoleh dasar-dasar pendidikan di lingkungan keluarganya, beliau menuntut ilmu ke pesantren milik Syaikhona Cholil Bangkalan yang sebenarnya masih tergolong familinya sendiri. Syaikhona Cholil dan Kiai Nawawie, sama-sama cicit dari Kiai Asror bin Abdullah bin Sulaiman Bangkalan (Bujuk Asror/Bujuk Langgundih), cucu Sayid Sulaiman yang bertempat tinggal di Bangkalan Madura.Orang Madura biasa menyebut hubungan famili antar cicit ini dengan du popoh (dua pupu), kelanjutan dari sepupu (misan).

Selain Kiai Nawawie, putra Kiai Noerhasan yang mondok di pesantren Syaikhona Cholil ini adalah kedua kakak beliau, KH. Bahar dan KH. Dahlan. Kiai Bahar mondok di pesantren Syaikhona Cholil ketika beliau berumur 9 tahun. Beliau terkenal memiliki ilmu ladunni, ilmu intuitif yang didapat langsung dari Yang Maha Kuasa. Dan pada usia yang masih relatif bocah, 12 tahun, Kiai Bahar sudah menjadi pemangku Pesantren Sidogiri. Sehingga beliau mendapat julukan “Kiai Alit” (kiai yang masih kecil).

Berbeda dengan kakaknya yang serba ilham itu, Kiai Nawawie mendapatkan ilmunya dengan “susah payah,. Sehabis belajar pada Syaikhona Cholil Bangkalan, beliau melanjutkan belajarnya ke Termas, Jawa Tengah, suatu kawasan yang banyak melahirkan ulama-ulama besar, seperti Syekh Mahfudz at-Termasi, ulama terkenal yang bermukim dan mengajar di Masjid al-Haram, Mekah.

Nyantri ke Mekah al-Mukarramah 

Setelah mondok di Termas, Kiai Nawawie menghabiskan masa mudanya di Mekah al-Mukarmmah. Di negara tempat lahirnya Islam itu, beliau mempelajari segala bidang ilmu pengetahuan Islam dengan tekun.

Konon, Kiai Nawawie nyantri di Mekah selama tiga tahap. Pertama, Kiai Nawawie ke Mekah ditemani oleh KHR. Syamsul Arifin, Situbondo. Setelah itu beliau kembali ke Sidogiri. Namun, tak lama kemudian Kiai Nawawie kembali lagi keMekah karena merasa ilmunya belum cukup, dan di samping, karena saat itu masih ada kakaknya, Kiai Bahar yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.Terakhir beliau kembali ke Mekah setelah diberi sebuah pertanyaan oleh sang kakak dan ternyata Kiai Nawawie tidak bisa menjawab. Kiai Nawawie kembali mondok ke Mekah seraya bersumpah tidak akan pulang selagi belum bisa “mengalahkan” kakaknya

Kiai Nawawie pulang dari Mekah setelah menerima kabar bahwa kakanya, Kiai Bahar, pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri saat itu telah berpulang ke rahmatullah, dan beliau diminta meneruskan tongkat estafet perjuangannya, mengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.

Kiai Nawawie menjadi pengasuh setelah banyak mengenyam pendidikan agama yang diperoleh dari petualangannya mencari ilmu. Beliau dikenal sebagai ulama yang zuhud dan wara” (baca: berhati-hati), di samping dikenal karena keluasan ilmunya, khususnya di bidang ilmu Fikih. Tak jarang Hadratussyekh KH. Hasyim Asy”ari, pendiri dan Rais Akbar NU, datang ke Sidogiri hanya sekadar bertukar pikiran masalah fiqhiyah bersama beliau.

Kehati-hatian Kiai Nawawie ini tercermin dari sikapnya yang selama mengajar tidak pernah menulis di papan tulis. Hal ini karena beliau khawatir debu sisa-sisa tulisan ayat al-Qufan terinjak oleh kawan santri nantinya.

Ikut Membidani Lahirnya NU 

Bermula dari beberapa organisasi kecil seperti Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, dan Syubbanul Wathan yang
didirikan oleh KH. A. Wahab Hasbullah, tak lama kemudian melebur menjadi organisasi keagamaan terbesar di Indonesia: Nahdlatul Ulama (NU). Kiai Nawawie adalah salah satu ulama

yang ikut membidani lahirnya organisasi kebanggaan warga Ahlusunah wal Jamaah ini. Alkisah, saat KH. A. Wahab Hasbullah menghadap KH. Hasyim Asy’ari untuk mengutarakan niatnya mendirikan sebuah organisasi keagamaan, beliau menyarankan agar mengkonsultasikan terlebih dahulu kepada KH Nawawie Sidogiri. Maka atas saran gurunya tersebut, Kiai Wahab Hasbullah datang ke Sidogiri untuk menemui Kiai NawaWie. Setelah Kiai Wahab menyampaikan maksud kedatangannya,

Kiai Nawawi menyarankan agar dimusyawarahkan dulu dengan para ulama Pasuruan. Kemudian kedua ulama tersebut sepakat untuk membicarakannya di Masjid Jami” Pasuruan. Dari pembicaraan pertama di Masjid Jami” Pasuruan inilah kemudian dilanjutkan dengan pertemuan para ulama di rumah Kiai Wahab Hasbullah pada tanggal 31 Januari 1926 M yang kemudian sepakat mendirikan sebuah organisasi keagamaan yang diberi nama Nahdlatul Ulama yang disingkat NU. Latar belakang berdirinya NU tidak lepas dari keprihatinan para ulama terhadap situasi negara dan kondisi keagamaan masyarakat dunia Islam. Perkembangan dunia internasional pada masa itu, khususnya dunia Islam, bisa dibaca lewat dihapusnya sistem khilafah oleh pemerintahan Kemalis Republik Turki. Bagaimanapun juga penghapusan sistem khilafah menyebabkan banyak masyarakat Muslim, terutama di daerah jajahan Inggris dan Belanda, merasa terpukul dan kehilangan orientasi.

Syarif Husain, penguasa kota-kota .suci Islam setelah runtuhnya Daulah Ustmaniyah pada 1916, berusaha menegakkan kembali dinasti khilafah. Beliau membentuk sebuah dewan penasehat Khalifah(presiden) dan mengadakan Muktamar aI-Hajj (Kongres Haji) di Mekah pada bulan Juli 1924. Tapi sayang sekali, muktamar ini gagal mencapai kata sepakat sebagaimana yang diharapkan oleh Syarif Husain. Sehingga beberapa bulan kemudian (tepatnya Oktober 1924), Abd. Aziz ibn Saud menyerbu Mekah dan membuyarkan citacita kembalinya dinasti khilafah. Abd. Aziz ibn Sa’ud terkenal dengan ide dan akidah Wahabinya yang bagi ulama Indonesia bisa menimbulkan problem lain, karena masalahnya yang bersinggungan dengan Ahlusunah wal Jamaah.

Pada tahun 1925, di Kairo, atas inisiatif ulama al-Azhar yang didukung raja Mesir, Fuad, beberapa ulama mengadakan persiapan untuk menyelenggarakan kongres khilafah sebagai kelanjutan dari cita-cita Syarif Husain. Walaupun akhirnya kongres ini tertunda sampai bulan Mei 1926. Pada tahun yang sama antara Juni-Juli, Raja Abd. al-Aziz ibn Sa'ud juga mengadakan kongres tandingan di Mekah. Penentuan pilihan antara kongres di Kairo atau Mekah inilah yang menimbulkan perdebatan panjang sampai meruncing menjadi perselisihan antara berbagai aliran Islam di Indonesia; Aliran modernis yang diwakili oleh Syarikat Islam dan Muhammadiyah dengan aliran tradisionalis yang belum mempunyai wadah resmi organisasi, kecuali perkumpulan-perkumpulan kecil bikinan KH. Wahab Hasbullah berupa Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, dan Syubbanul Wathan.

Bagi Muslim tradisionalis Indonesia, yang sangat terikat pada praktek-praktek keagamaan yang dikutuk kaum Wahabi itu, penaklukan atas Mekah merupakan peristiwa mencemaskan. Kaum tradisionalis menghendaki agar utusan Indonesia yang akan datang ke kongres Mekah meminta jaminan kepada Ibn Sa’ud agar dia mau menghormati mazhabmazhab Fikih dan memperbolehkan berbagai praktek keagamaan tradisional.

Dengan latar belakang situasi nasional bahkan internasional itulah, kemudian eksponen dalam Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, dan Syubbanul Wathan yang pada hakekatnya satu aliran -baik dalam akidah maupun ibadahmeleburkan diri dalam satu ikatan Komite Hijaz dibawah pimpinan KH. Wahab Hasbullah. Tokoh-tokoh ulama seperti KH. Hasyim Asyari, KH. Bisyri Syansuri (keduanya dari Jombang), KH. Ridlwan (Semarang), KH. R. Asnawi (Kudus), KH. Nawawie (Pasuruan), KH. Nahrawi (Malang), KH. Alwi bin Abdul Aziz (Surabaya) dan masih ada beberapa ulama lainnya, semuanya berkumpul di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Dalam pertemuan tersebut diambil keputusan sebagai berikut:


1. Mengirim delegasi ke Kongres Dunia Islam di Mekah untuk memperjuangkan kepada Raja Ibn Sa’ud agar hukum-hukum menurut madzahib al-Arba'ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaannya.

2. Membentuk suatu jam'iyah bernama Nahdlatul Ulama yang bertujuan menegakkan berlakunya syariat Islam yang berhaluan pada salah satu dari empat madzhab jam'iyah ini disusun dengan struktur kepengurusan model syuriyah dan tanfidziyah.

Dalam catatan Aboe Bakar Atjeh, KH. Nawawie bin Noerhasan termasuk salah satu pengurus pertama organisasi Islam yang berdiri pada. bulan Januari 1926 ini, bersama KH. Ridlwan Mujahid (Kudus), KH. Doro Munthaha (Bangkalan), Syekh Ahmad Ghana'im (Surabaya asal Mesir), dan KH. Rd. Hambali.
Kiai Nawawie duduk di dewan mustasyar (penasehat) Nahdlatul Ulama periode pertama. Beliau menjadi mustasyar NU sampai akhir hayatnya.

Biografi Sayyid Sulaiman 2

Keramat di Pasuruan 

Setelah nyantri di Ampel, kakak beradik ini pergi ke Keramat di Pasuruan .Setelah nyantri di Ampel, kakak beradik ini pergi ke
Pasuruan untuk nyantri pada Mbah Sholeh Semendi di Segoropuro. Setibanya di Pasuruan, setelah mengungkapkan keinginan untuk menuntut ilmu, mereka diajak mandi di sungai
Winongan oleh Mbah Sholeh Semendi. Ketika mereka sedang asyik mandi bersama, tiba-tiba Mbah Semendi hilang, tak lama kemudian, muncul lagi. Kejadian ini terulang sampai dua kali.

Mbah Sulaiman berfirasat bahwa Mbah Sholeh Semendi bermaksud mencoba kesaktiannya bersama adiknya berdua, Mereka berunding, jika nanti Mbah Sholeh sedang mandi, teklek (bakiak zaman dahulu) miliknya dipegang bersama-sama "agar Mbah Sholeh tidak bisa menghilang. Maka mereka memegang teklek Mbah Sholeh itu dengan mengerahkan segala kemampuan. Demikian pula Mbah Sholeh. Tapi Mbah Sholeh Semendi tidak bisa menghilang. Akhirnya ia tahu ' bahwa ia tidak bisa menghilang sebab tekleknya dipegang oleh Sayid Sulaiman dan Sayid Abdurrahim, “Eh, eh, jangan begitu. Lepaskan sandal saya!” pinta Mbah Sholeh. Setelah kejadian itu, Mbah Sholeh mengakui akan kesaktian dua bersaudara itu.
Banyak kisah-kisah luar biasa yang terjadi antara Sayid Sulaiman dan Mbah Sholeh. Di antaranya, pada suatu hari, Mbah Sholeh hendak bepergian. Sebelum pergi, beliau berpesan kepada semua santrinya agar halaman dibersihkan selama kepergiannya. Maka saat beliau berangkat pergi, semua
santri Mbah Sholeh melaksanakan kerja bakti, Sayid Sulaiman dan Sayid Abdurrahim turut serta bersama mereka. Lagi-lagi Sayid Sulaiman membuat keajaiban. la mencabuti pohon- pohon besar hingga bersih total.
Setiba dari bepergiannya, Mbah Sholeh kaget melihat pohon-pohon besar yang dicabuti sampai bersih. Setelah tahu bahwa yang mencabuti adalah Sayid Sulaiman, Mbah Sholeh
memerintahkan agar pohon-pohon itu dikembalikan seperti 5emula. Subhanallah, dengan izin Allah pohon-pohon tersebut dapat dikembalikan lagi oleh Mbah Sayid. Sejak kejadian itu, berita tentang kesaktian Mbah Sayid Sulaiman tersiar dari mulut ke mulut di seluruh penjuru Pasuruan. Setelah mondok di Mbah Sholeh, Sayid Sulaiman tinggal di Kanigoro, Pasuruan. Sehingga beliau mendapat julukan Pangeran Kanigoro. Saat itu, beliau sempat menjadi penasehat Untung Surapati. Untung Surapati adalah tokoh terkemuka Pasuruan. Ia tercatat sebagai pahlawan yang berjasa mengusir penjajah Belanda dari Nusantara di Pasuruan.
Berita tentang kesaktian Sayid Sulaiman juga terdengar oleh Raja Keraton Pasuruan. Raja Pasuruan ini tidak percaya tentang kesaktiannya. Ia sering kali melecehkan kesaktian Mbah Sayid. Sampai suatu ketika Putri Keraton yang sedang berjalan-jalan keliling kota hilang. Kusir dan kereta kuda yang dipakai oleh sang Putri juga ikut raib. Sang Raja menjadi sedih bermuram durja.
Diadakanlah sayembara: Bagi yang menemukan sang Putri, akan mendapat hadiah yang amat besar. Tapi malang, tidak ada satu orang pun yang berhasil menemukan sang Putri. Sang Putri seperti lenyap ditelan bumi. Hati Raja semakin bersedih dan putus asa.
Akhirnya, ia meminta bantuan kepada Sayid Sulaiman Yang sebelumnya sering ia hina. Di hadapan Sang Raja, Mbah Sulaiman memasukkan tangannya ke dalam saku. Tak berapa lama kemudian, beliau melemparkan sesuatu dari dalam sakunya ke halaman. Luar biasa! Dengan izin Allah, sang
Putri muncul bersama kereta dan kusirnya di halaman Keraton. Konon, ia dibawa lari jin ke alam gaib.
Makam Mbah Alif Penjaga Sayyid Sulaiman saat sakit

Melihat putrinya kembali, hati Raja berbunga-bunga. Ia gembira alang-kepalang dan meminta agar Sayid Sulaiman menikahi putrinya itu sebagai tanda ucapan terima kasih atas jasanya. Namun Mbah Sayid menolak. Beliau memilih kembali ke Kanigoro. Tak lama kemudian, Sayid Sulaiman diambil menantu oleh gurunya, Mbah Sholeh Semendi. Semula, beliau menolak, tetapi akhirnya menerima permintaan gurunya itu. Beliau menikahi putri Mbah Sholeh yang kedua. Sedangkan adiknya, Mbah Abdurrahim, mempersunting putri Mbah Sholeh yang pertama, kakaknya istri Mbah Sulaiman. Mbah Abdurrahim tinggal di Segoropuro, Pasuruan, sampai meninggal dunia. Orang-orang mengenalnya dengan panggilan Mbah Arif Segoropuro. Sedangkan Mbah Abdul Karim, adik Sayid Sulaiman yang kedua, wafat di Surabaya dan dimakamkan di komplek pemakaman Sunan Ampel.
Selain beristri putri Mbah Sholeh, Sayid Sulaiman juga mempunyai istri dari Malang. Dari istrinya dari Malang ini beliau mempunyai putra bernama Hazam. Kembali ke Cirebon Setelah hari pernikahan, Mbah Sulaiman kembali ke
Cirebon, Jawa Barat, tempat di mana ia lahir dan menghabiskan masa kanak-kanaknya bersama ayah dan ibu tercinta. Tapi pada saat itu, suasana di Banten dan Cirebon sedang ricuh disebabkan terjadinya pertikaian antara Sultan Agung Tirtayasa dengan putranya sendiri, Sultan Haji, yang terjadi berkisar pada tahun 1681-4683. Maka sejak tahun 1681, Sultan Agung Tirtayasa aktif melakukan penyerangan terhadap putranya ini. Pemicu pertikaian yang berlangsung sampai tiga tahun ini adalah pemihakan Sultan Haji pada Belanda. Melihat hal ini, Mbah Sulaiman memutuskan untuk kembali lagi ke Pasuruan. Beliau kembali menetap di Kanigoro, sebuah dusun di desa Gambir Kuning.

Di Gambir Kuning beliau mendirikan dua buah masjid unik. Bahan bangunannya seperti kayu usuk, Belandar, ring, dan lain-lain hanya diambilkan dari kayu satu pohon terbesar di hutan Kejayan. Pohon besar itu adalah pemberian dari kepala hutan Kerajaan Untung Surapati Pasuruan. Karena ukuran pohon itu sangat besar, disediakanlah 40 ekor sapi untuk menariknya ke lokasi pembangunan masjid, tapi sapi-sapi itu tidak kuat membawanya. Tapi aneh, keesokan harinya kayu-kayu itu sudah ada di lokasi pembangunan. Konon, yang mengangkat kayu itu adalah Sayid Sulaiman sendiri. Sampai sekarang masjid ini masih tetap ada. Namun, karena lokasinya yang sempit, masjid itu dipindah agak ke selatan oleh syekh Rafi’i, cicit Mbah Sulaiman dari cucunya, Ummi Kultsum bin Hazam bin Sulaiman, pada bulan Rabiul Awal 1243 H, hampir dua abad yang lalu. Masjid dengan gaya arsitektur-kuno itu, kini telah berusia lebih dari 400 tahun. Sampai kini, bahan-bahan masjid peninggalan Mbah Sulaiman itu masih asli, kecuali lantai dan. tiang bagian dalam.

Pergi ke Keraton Mataram 

Kabar kekeramatan Mbah Sayid di Pasuruan terdengar kembali ke Keraton Mataram (Solo). Raja Mataram mengutus salah seorang adipatinya untuk memanggil Mbah Sayid di Pasuruan. Setibanya di Pasuruan, adipati tersebut mengajak Mbah Sayid untuk memenuhi panggilan Raja. Mbah Sayid bermaksud memenuhi panggilan ini. Bersama tiga orang santrinya, Mbah Djailani (Tulangan _ Sidoarjo), Ahmad Surahim bin Untung Surapati, dan Sayid Hazam, putranya sendiri, beliau berangkat ke Solo. Di Keraton, Raja Mataram mengumpulkan pembesar-pembesar kerajaan. Ia menyiapkan jamuan besar-besaran yang betulbetul mewah. Namun ada yang terasa janggal di hati Mbah Sayid. Ada tiga keris pusaka yang diletakkan di alas cowek yang ada sambalnya ketika mereka sedang makan bersama-sama. '
 Mbah Sulaiman heran melihat keris di depannya itu. Beliau berbisik kepada santrinya, “Le,awakmu lali nggak mangan jangan kacang iki, ayo panganan sito'  edang! (Nak, kamu lupa tidak memakan sayur kacang ini. Ayo makan, masing-masing satu!),” perintah Mbah Sulaiman. . “oh enggih mbah (Oh, iya Mbah),” jawab mereka serempak.

Tiga buah keris itupun habis dimakan seperti halnya makan sayur kacang-kacangan. Semua yang hadir terhenyak. “Kalau muridnya seperti ini, apalagi gurunya,” gumam mereka kagum.
Setelah acara makan-makan selesai, Raja Mataram Solo berembuk dengan pembesar-pembesarnya untuk mengangkat Mbah Sulaiman menjadi hakim. Namun saat kesepakatan ini disampaikan pada Sayid, beliau menolak, dengan alasan akan meminta pertimbangan dan restu kepada istri dan
masyarakatnya yang ada di Pasuruan. Tentu saja, mereka yang di Pasuruan tidak menyetujui. Mereka tidak mau kehilangan tokoh yang disegani ini. '

(bersambung)

Selasa, 03 April 2018

Biografi Sayyid Sulaiman Pendiri Pondok Pesantren Sidogiri

SOSOK PEMBABAT YANG TAK KENAL LELAH

Sekitar pertengaban abad ke-16Masebi tersebutlah seorang pemuda gagah berdarah Arab di tepi barat pulau jawa, Cirebon. Selama beberapa bulan ia berlayar dari kampung halamannya di negara Yaman.

Saat itu memang sedang gencar-gencarnya orang-orangArab berimigrasi ke tanah jawa. Dan salab satunya adalah kakek Mbah Sayid Sulaiman, pemuda yang disebut di awal tulisan ini. Orang-orang Arab ini datang dengan maksud bermacam-macam.Ada yang berdakwah untuk menyebarkan agama Islam, adapula yang berniaga seraya berdakwa.
Pemuda itu bernama Abdurrahman. Ia adalah Sayid keturunan Rasulullah, bergelar Basyaiban.
Basyaiban adalah gelar warga habib keturunan Sayid Abu Bakar Syaiban, seorang ulama terkemuka di Tarim, Hadramaut, yang terkenal alim dan sakti. Sayid Abu Bakar mendapat julukan Syaiban (yang beruban) karena ada kisah Unik dibalik julukannya itu. Suatu ketika, Sayid Abu Bakar yang saat itu masih tergolong muda menghilang. Sejak itu ia tidak muncul-muncul. Konon, ia uzlah untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Baru setelah sekitar tiga puluh tahun, Sayid Abu Bakar muncul di Tarim. Ia tetap muda. Tapi aneh, rambutnya putih, tak selembarpun yang hitam. Ia seperti berambut salju. Sejak itulah orang-orang menjulukinya Syaiban (yang beruban).

Abdurrahman masih tergolong cicit dari Sayid Abu Bakar Basyaiban. Ia putra sulung Sayid Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Basyaiban. Lahir pada abad 16 Masehi _di Tarim Yaman bagian selatan, perkampungan sejuk di Hadramaut yang masyhur sebagai gudang para wali.
Makam Sayyid Sulaiman di Mojoagung

Dalam masa perantauannya ke Nusantara, tepatnya di Pulau Jawa, Sayid Abdurrahman memilih bertempat tinggal di Cirebon, Jawa Barat. Beberapa waktu kemudian, .ia mempersunting putri Maulana Sultan Hasanuddin (?-1570 M). Putri bangsawan itu juga masih keturunan Rasulullah  Ia bernama Syarifah Khadijah, cucu Raden Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati.

Dari pasangan dua keturunan Rasulullah ini, lahir tiga orang putra: Sayid Sulaiman, Sayid Abdurrahim (terkenal dengan sebutan Mbah Arif Segoropu'ro, Segoropuro Pasuruan), dan Sayid Abdul Karim.

Mewarisi ketekunan leluhurnya dalam berdakwah, keluarga ini berjuang keras menyebarkan Islam di Jawa, tak jauh dengan apa yang telah dilakukan oleh. Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, di Cirebon.
Pengaruh dan ketekunan mereka dalam berdakwah membuat penjajah Belanda khawatir. Maka ketika menginjak dewasa, Sayid Sulaiman dibuang oleh mereka. Putra sulung Sayid Abdurrahman ini, kemudian tinggal di Krapyak, Pekalongan, Jawa Tengah. Di Pekalongan, beliau menikah dan mempunyai beberapa orang putra. Empat di antaranya laki-laki, yaitu Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir, dan Ali Akbar.

Dari Pekalongan Sayid Sulaiman berkelana lagi. Kali ini, Solo (Surakarta) menjadi tempat tujuan. Selama tinggal di Solo _ beliau terkenal sakti. Kesaktiannya yang sudah masyhur itu mengundang rasa iri seorang Raja dari Mataram. Sang Raja ingin membuktikan kesaktian Sayid. Maka diundanglah Sayid ke keraton. ,

Saat itu di istana sedang berlangsung pesta pernikahan putri bungsu sang Raja. Sayid Sulaiman dipanggil menghadap. Untuk memeriahkan pesta pernikahan putri bungsunya ini, Raja meminta agar Sayid memperagakan pertunjukan yang tak pernah diperagakan oleh siapapun.

Sulaiman, panjenengan tiyang sakti. Le, bener-bener sakti, kulo nyuwun tulung gawe'no tanggapan sing ora umum, ora tau ditanggap wong, pinta Raja Mataram kepada Sayid dengan nada menghina.

Mendengar permintaan Raja yang sinis itu, Sayid meminta pada Raja untuk. meletakkan bambu di alas meja, sembari berpesan untuk ditunggu. Sayid Sulaiman lalu pergi ke arah timur. Masyarakat sekitar keraton menunggu kedatangan Sayid demikian lama, namun Sayid belum juga datang. Raja Mataram hilang kesabaran. la marah. la membanting bambu di alas meja itu hingga hancur berkeping-keping. Sesuatu yang ajaib terjadi, kepingan bambu-bambu itu menjelma menjadi ' hewan bermacam-macam. Raja Mataram tersentak melihat keajaiban ini, barulah ia mengakui kesaktian Sayid Sulaiman.

Raja Mataram kemudian menitahkan beberapa prajuritnya untuk mencari Sayid Sulaiman. Sedang hewan-hewan jelmaan bambu itu terus dipelihara. Hewan-hewan itu ditampung dalam sebuah kebun binatang yang kemudian diberi nama “Sriwedari”. Artinya, “Sri” adalah tempat, sedangkan “Wedari” adalah “wedar sabdane Sayid Sulaiman”. Kebun binatang itu tetap terpelihara. Tak lama berselang, Sriwedari menjadi sebuah taman dan obyek Wisata terkenal peninggalan Mataram.

Namun pada tahun 1978, binatang-binatang di Sriwedari dipindah ke kebun binatang Satwataru.

Nyantri di Ampel 

Setelah meninggalkan Solo, Mbah Sayid Sulaiman pergi dari Solo ke Surabaya. Untuk sampai ke Surabaya, beliau harus melalui hutan belantara. Tujuan beliau menuju ke Ampel, Surabaya, adalah untuk nyantri (berguru agama) kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel.

Kabar keberadaan Sayid Sulaiman akhirnya sampai ke telinga Raja Mataram. Ia mengirim utusan ke Surabaya untuk memanggilnya. Di antara utusan itu ada Sayid Abdurrahim, adik kandung Sayid Sulaiman sendiri. Sesampainya di Ampel, ia sangat terharu bertemu kembali dengan kakaknya tercinta. Dan akhirnya, ia memutuskan untuk tidak kembali lagi ke Mataram. Ia ingin belajar kepada Sunan Ampel bersama sang kakak.

Pada suatu malam, saat murid-murid Sunan Ampel sudah tertidur pulas, tiba-tiba terdapat dua kilatan sinar menerpa dua orang murid Sunan Ampel yang sedang tidur. Sinar itu berwarna kuning keemasan. Sunan Ampel yang saat itu sedang tidak tidur, menghampiri tempat jatuhnya sinar tadi. Karena keadaan yang gelap, beliau tidak dapat melihat dengan jelas wajah kedua santrinya yang diterpa sinar keemasan ini. Beliau memutuskan untuk mengikat sarung kedua santrinya itu.

Usai salat Subuh, Sunan Ampel bertanya kepada para santrinya, “Siapa yang sarungnya tadi malam terikat?” Mbah Sayid Sulaiman dan Mbah Abdurrahim mengacungkan tangan, Lalu, Sunan Ampel berkata, “Mulai saiki, santri/eu ajak nyelu/e Sulaiman, ajak nyeluk Abdurrahim tok, tapi nyelu’o Mas Sulaiman den Mas Abdurrahim! (Mulai sekarang santriku jangan memanggil Sulaiman dan Abdurrahim saja, tapi panggillah Mas Sulaiman dan Mas Abdurrahim!) ”. Panggilan ini menjadi cikal-bakal sebutan'“Mas” (semacam “Gus”) oleh santri untuk memanggil keturunan para Masyayik/a Sidogiri.

Riwayat belajarnya Sayid Sulaiman ini masih sangat disangsikan. Soalnya, terdapat selisih tahun yang terlalu jauh antara masa hidup Sayid Sulaiman dan Sunan Ampel. Sunan

Ampel hidup pada 1401-1481 M (abad 14 M), sedangkan Sayid Sulaiman diperkirakan hidup pada abad 17 M, jadi selisih tiga abad (300 tahun) dengan Sunan Ampel.

Kemungkinan besar, Sayid “Sulaiman belajar di Ampel ini tidak pada Sunan Ampel sendiri, tetapi pada generasi-generasi penerus beliau. ( Bersambung )

disarikan dari buku Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri

PENGAJIAN SIDOGIRI TERAKHIR 1439

Ahad 14 Rajab 1439 bertepatan dengan 1 April 2018 bertempat di Masjid Al a'la Gianyar Bali
merupakan Kegiatan Pengajian Kitab Sidogiri terkhir di tahun ini , antusias para Alumni dan simpatisan mengikuti Pengajian ini sangat luar biasa antusiasnya, Pengajian ini di isi oleh utusan Dari Pondok Pesantren Sidogiri yaitu Mas Aminullah Bq , beliau selain merupakan pengajar senior di Sidogiri juga merupakan salah satu dari Keluarga Pondok Pesantren Sidogiri, dalam kesempatan itu beliau menyampaikan bahwa mengaji kitab Sidogiri merupakan Perintah dari Pengasuh dan mengenang masa masa Santri belajar di Pesantren .
sebagai pendamping dari beliau adalah Ystadz Rokib yang sekaligus merupakan Kadiv Diklat PP IASS, pada sesi halaqoh ustadz Rokib memimpin perjalanan halaqoh , ada dua hal yang menjadi bahasan saat Halaqoh ini, yaitu Taddudul Jumat dan Taaddudul Jum'at , hasil dari halaqoh sendiri menyepakati kemungkinan terjadi dua kali jumatan ditempat yang sama jika memang tidak memungkinkan mencari tempat jumatan terdekat diwilayah sekitar ( Bali) pada Khususnya, sedangkat mengenai Adil dalam Poligami yang menjadi pembahasan kedua adalah , bahwa adil yang dimaksud disini adalah adil dalam urusan Nafaqoh, sedangkan adil dalam urusan Mahabbah adalah relatif karena sangat sulit menilai adil dalam Mahabbah.

disamping pengajian biasanya, pada pengajian kali ini juga diserahkan Santunan dari para Donatur LAZ Sidogiri perwakilan bali yang diwakilkan oleh PK Laz gianyar .
semoga dengan pengajian ini Alumni Sidogiri dan simpatisannya dijadikan orang orang yang benar benar bertaqwa dan dapat menjalankan ajaran agamanya dengan baik dan benar , serta dapat mengikuti kegiatan pengajian ini di masa yang akan datang.