Pages

Jumat, 06 April 2018

BIOGRAFI KH. NAWAWIE BIN NOERHASAN part II

Sosok Dermawan 

Kiai Nawawie hidup pada masa mencuatnya revolusi fisik di Nusantara. Saat itu Indonesia berjuang sekuat tenaga merebut kemerdekaan, dan pesantren berada di garda terdepan dalam perjuangan melawan penjajah Belanda. Kiai Nawawie pun tak tinggal diam. Sebagaimana umumnya pesantrenpesantren lain waktu itu, Kiai Nawawie menjadikan Sidogiri sebagai markas perjuangan melawan penjajah. Kiai yang masih cucu ke-4 Sayid Sulaiman ini membekali santrinya dengan berbagai ijazah ilmu kanuragan untuk melawan Belanda, seperti ijazah ayat Lima, ayat Tujuh, dan ayat Lima Belas.

Banyak hal yang patut ditiru dan diteladani dari beliau. Keistikamahan dalam menjalankan ajaran-ajaran agama, ketekunan, dan kesabaran beliau dalam mendidik dan membimbing santri-santrinya, serta kedalaman ilmu yang dimilikinya menjadikan beliau sangat disegani dan dihormati dikalangan para ulama.

Di antara sifat-sifat beliau yang paling menonjol adalah sifat sakha' (dermawan)-nya. Banyak cerita-cerita menarik yang menggambarkan kedermawanan beliau. Pernah suatu hari beliau kedatangan tiga orang tamu. Selesai menyampaikan keperluannya, ketiga tamu itupun pamit. Tak lupa ketiga tamu ini menyisihkan uang masing-masing sebanyak 25 ringgit untuk dibuat salam tempel kepada beliau. Baru beberapa menit ketiga tamu itu pergi, datanglah tiga tamu lain yang , bermaksud minta sedekah. Maka tanpa berpikir panjang, uang pemberian ketiga tamu pertama tadi langsung diberikan kepada mereka. Masing-masing mendapat 25 ringgit. Padahal saat itu beliau sangat membutuhkannya untuk keperluan beliau sendiri.

Kiai Tholhah, Warungdowo, salah seorang teman beliau, yang kebetulan menyaksikan hal itu, merasa heran, “Kiai, mengapa dikasihkan semua, dikasih 5 ringgit kan sudah cukup. Apalagi Kiai juga sangat membutuhkan uang?” tanya Kiai Tholhah penasaran. “Untuk apa saya menahan uang itu, wong saya ini hanya talang yang berfungsi mengalirkan air,” jawab beliau mengibaratkan. (Sekadar diketahui, harga seekor sapi saat itu hanya 5 ringgitl

Ada satu hal unik dan menarik yang mungkin sulit sekali Untuk dicari bandingannya pada orang lain, yaitu kebiasaan beliau memberikan apa saja yang diinginkan orang lain, kendatipun baju atau sarung yang sedang beliau pakai. Saat menghadiri undangan, bila ada yang melihat atau melirik baju atau sarung yang sedang beliau pakai, maka beliau akan bertanya, “Kamu kok melihat baju saya?”. Bila dijawab, “Baju Kiai bagus,” kontan saja baju itu diberikannya. Sehingga tak * jarang beliau pulang dari satu acara hanya berkaos oblong dan bercelana pendek di bawah lutut saja, sebab pakaiannya telah diberikan kepada mereka yang memintanya. Ketika ada orang yang mau berhutang dan kebetulan beliau tidak punya, maka beliau tidak akan membiarkan orang itu pulang dengan tangan hampa. Beliau akan mencari pinjaman kesana-kemari untuk diberikan kepada mereka. Celakanya, banyak di antara mereka yang tidak mampu melunasi hutang itu. Sehingga ketika wafat, Kiai banyak menanggung hutang. Padahal Kiai Nawawie tidak punya cukup harta untuk melunasi hutang tersebut. Hingga kitabkitab peninggalannya dilelang untuk melunasi hutang.
asrama Daerah G 

Sifat dermawan ini bukanlah sifat yang muncul sesudah . beliau menjadi seorang kiai, melainkan merupakan sifat pembawaan beliau sejak kecil. Suatu hari, sewaktu mondok di Mekah, salah seorang guru” beliau membutuhkan uang sebanyak 200 dirham. Kiai Nawawie ingin sekali membantu gurunya tersebut. Seketika Kiai Nawawie ingat di kamarnya itu ada kantong yang penuh berisikan uang. Maka tanpa dihitung berapa jumlahnya, sekantong uang itu diberikan kepada gurunya.

Tentang sifat kedermawanan Kiai Nawawie, cukuplah kita mengutip perkataan beliau pada seorang putrinya, Nyai Hj. Hanifah (ibunda KH. Abd. Alim bin Abd. Djalil), “Aku seneng due duwe' iku waktu dibagi-bagi (Saya merasa senang kepada uang itu saat saya membagi-bagikannya) ”.

Kiai Nawawie juga dikenal seorang zahid dan tidak pernah memanjakan nafsunya. Saat makan tidak pernah sampai merasa kenyang. Sebab, begitu merasa nikmatnya makan langsung berhenti, kendati hanya tiga pulu'an (suapan). Demikian juga bila merokok, tidak pernah sampai habis, asal sudah merasa nikmatnya merokok, langsung berhenti.

Sederhana dan menjauhi kemewahan adalah gaya kehidupan Kiai Nawawie sehari-hari. Rumah .serta alat-alat rumah tangga jauh dari kesan mewah. Padahal beliau bisa untuk memiliki barang yang sangat mewah sekalipun. Ketika musim hujan, dalem yang beliau tempati seringkali basah, karena banyak genteng yang bocor. Dalam pandangan Kiai Nawawie, hidup mewah di dunia akan mengurangi kenikmatan hidup di Surga.

Ahli Fikih
Di kalangan ulama, Kiai Nawawie terkenal kedalamannya dalam ilmu' Fikih. Malah, KH. Hasyim Asyari, jika mempunyai permasalahan fiqhiyah, beliau datang__ke Sidogiri untuk bertanya kepada Kiai Nawawie.

Syaikhuna KH. Hasani bin Nawawie sewaktu masih muda pernah sowan kepada .al-Arif Billah KH. Ma’ruf, Kedunglo Kediri, salah seorang teman Kiai Nawawie ketika mondok di Mekah. Setelah mengetahui Kiai Hasani adalah putra Kiai Nawawie, Kiai Ma’ruf bertanya, “Kamu hafal naz/mm kitab Alfiyah?” Kiai Hasani menjawab, “Tidak, Kiai.” Mendengar jawaban Kiai Hasani, dengan agak kecewa Kiai Ma’ruf berkata, “Semenjak Kiai Nawawie wafat, dari Pasuruan sampai ke timur
tak ada lagi orang alim. Kamu sebagai putranya, kitab alfiyah Saja. tidak hafal!” Perkataan Kiai Ma’ruf itu merupakan lecutan semangat agar Kiai Hasani muda meneruskan tradisi keilmuan abahnya. Ada cerita menarik berkenaan dengan kealiman Kiai Nawawie. Alkisah, ada seorang pemuda dari Kudus Jawa Tengah, bernama Subadar (ayah KH. Muhammad Subadar, Besuk Pasuruan) punya hobi mengembara menuntut ilmu dari satu tempat. ke tempat lain. Sudah bertahun-tahun Subadar ini berpetualang mencari ilmu di berbagai pelosok Jawa Tengah. Pindah dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Sampai beberapa lama mengembara, Subadar masih belum menemukan guru yang dianggap betul-betul alim dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Bahtsul Masail Fiqih Sidogiri
Kemudian pergilah ia ke arah timur menyisir pesantrenpesantren di Jawa Timur. Lama ia mencari, sampai akhirnya Subadar tiba di pesantren Kiai Yasin, Pasuruan. Mengetahui maksud Subadar, Kiai Yasin menyarankan agar ia belajar kepada Kiai Nawawie Sidogiri.

Subadar tertarik dan langsung nyantri di Sidogiri. Pertama ikut ngaji, ia langsung merasa cocok, sebab Kiai Nawawie jika mulang kitab, jarang sekali memberi makna, apalagi menerangkan. Waktu itu memang yang. mengaji kepada Hadratussyekh adalah santri-santri senior. Bahkan tak jarang yang sudah jadi kiai.

Diam-diam Kiai Nawawie mengetahui perihal sikap Subadar yang sudah merasa alim. Suatu ketika, pada saat memberikan pelajaran ilmu Falak, sengaja beliau tidak menerangkan dan langsung menunjuk Subadar untuk menjelaskan. Subadar pun gelagapan, karena dalam ilmu Falak

dia sama sekali tidak mengerti. Sejak saat itulah perasaan merasa alim dibuangnva iauh-iauh. Dan ia nun meniadi salah satu santri kesayangan Hadratussyekh, hingga kemudian Kiai Subadar dinikahkan oleh Hadratussyekh dan disuruh menetap di Besuk Pasuruan.

Bisa digambarkan! bahwa perjalanan hidup beliau ' merupakan perjalanan hidup penuh pengabdian kepada agama dan bangsa. Bolehlah jasa dan perjuangannya tidak banyak diketahui masyarakat, sebab beliau memang tidak pernah menginginkan orang lain menghitung berapa jasa yang telah diabdikannya, namun peninggalan sebuah pesantren besar yang telah mencetak tokoh-tokoh besar sudah menjadi saksi pengabdian beliau.

Wafatnya Kiai Nawawie 

Pagi itu, Jumat 25 Syawal 1347 H Kiai Nawawi diundang untuk melaksanakan salat jenazah. Beliau mengatakan kepada pengundang agar menunggunya sebentar. Lalu beliau masuk ke mihrab (tempat untuk menyendiri menghadap Tuhan)-nya. Lama mereka menunggu, namun Kiai belum juga keluar. Kata para santri, biasanya Kiai masih melaksanakan salat Duha. Beliau memang istikamah melaksanakan salat Dhuha sebelum membuka pengajian di surau. Tapi, setelah lama ditunggu, Kiai belum juga keluar; Para santri mulai gelisah.

Akhirnya, salah seorang dari mereka memberanikan diri mengintip dari celah-celah lobang kunci. Dilihatnya Kiai sedang sujud. Ditunggu lagi sampai beberapa saat, namun beliau belum juga keluar. Akhirnya santri itu mengintipnya lagi. Subhanallah, santri itu terkejut setelah melihat ada busa
bercampur darah keluar dari mulut Kiai. Spontan tamu dan santri itu menggedor pintu yang sedang terkunci. Ternyata Kiai telah memenuhi panggilan Sang Khalik ketika sedang sujud di hadapan-Nya. Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un
Silsilah Sidogiri

Berita wafatnya Kiai Nawawie tersebar dengan cepat ke pelbagai pelosok. Beliau memang sosok ulama karismatik yang memiliki pengaruh kuat yang luar biasa di kalangan masyarakat Jawa Timur saat itu. Tak selang berapa lama mereka telah berbondong-bondong ingin bertakziah. Lautan manusia membuat sesak Sidogiri. Mereka rela berjejal-jejal di bawah terik matahari untuk memberi penghormatan terakhir kepada ulama sepuh yang amat disegani itu. Para pelayat membentuk antrean memanjang sekitar 7 km dari arah utara, Kraton, dan arah timur, Warungdowo, sampai Sidogiri.
Aktivitas masyarakat Pasuruan macet total. Mereka betulbetul terhanyut dalam suasana berkabung, Kiai yang menjadi panutan utama mereka telah tiada.

Kepergian guru ulama-ulama besar Jawa Timur itu tidak hanya ditangisi oleh masyarakat Muslim, non Muslim pun ikut berduka. Pihak kompeni yang saat itu menduduki' Pasuruan turut bersimpati. Teriring mangkatnya Kiai Nawawie bin Noerhasan ini, semua jenis angkutan umum jurusan Surabaya dan Malang digratiskan untuk masyarakat yang ingin bertakziah. Tidak cukup itu, kendaraan mereka pun dikeluarkan untuk mengangkut ribuan umat yang hendak menghadiri prosesi pemakaman beliau.

Ada kejadian unik saat beliau dimandikan. Air yang dibuat memandikan jenazah beliau tidak sampai jatuh ke tanah, karena orang-orang yang hadir saat itu berebutan menadahinya dan dibawa pulang. Mereka yakin air itu penuh barakah. Perjalanan hidup Kiai Nawawie memang sulit
digambarkan secara rinci. Sifat khumul (tidak ingin namanya terkenal dan disebut-sebut orang) yang mewarnai perjalanan hidupnya membuat aktivitas beliau tidak banyak diketahui khalayak. Hari-harinya lebih banyak dihabiskan untuk mulang santri yang mengaji di surau. Sifat khumul ini terus diwarisi oleh generasi-generasi beliaudan menjadi ciri khas ulamaulama Sidogiri hingga saat ini.

Sepeninggal Kiai Nawawie, Pondok Pesantren Sidogiri kemudian dipangku oleh menantunya, KH Abd. Djalil bin Fadlil, santri Kiai Nawawie yang masih keturunan Sayid Abu Bakar asy-Syatha ad-Dimyathi, pengarang kitab Hasyiah I'anah ath thalibin

Dikutip dari buku jejek langkah 9 masyayikh Sidogiri

0 komentar:

Posting Komentar