Tulisan berikut adalah tulisan dari Mas Dwy Sadoellah tentang sikap Sidogiri yang banyak di pertanyakan orang menyikapi masalah yang kini sedang hangat hangatnya jadi perbincangan terutama masalah NU dn FPI, beliau sendiri selain merupakan Katib Majelis Keluarga Pondok Pesantren Sidogiri juga merupakan cucu dari salah satu pendiri NU itu sendiri yaitu KH Nurhasan Nawawi . berikut tulisan beliau yang di unggah dalam Laman Facebook nya
Ada beberapa orang yang bertanya
tentang sikap Sidogiri saat ini, khususnya terkait dengan NU. Bahkan,
ada yang beranggapan Sidogiri mufaraqah dari NU dan bergabung dengan
FPI. Saya menulis ini tidak mewakili siapa-siapa, apalagi mewakili
Sidogiri. Saya menulis menurut sudut pandang saya pribadi.
Pertama, Sidogiri adalah salah satu pendiri NU dan tidak pernah
mufaraqah dari NU. Terkait dengan polemik dengan Kiai Said Aqil Siroj
hal itu adalah medan ilmiah yang sudah memiliki ruang tersendiri, jangan
dibawa-bawa ke dalam urusan di luar persoalan ilmiah. Sidogiri tidak
pernah menolak kepemimpinan Kiai Said, bahkan saat Muktamar Jombang,
Hadratussyekh KH. A. Nawawi bin Abd. Djalil termasuk salah satu anggota
Ahlul Halli wal Aqdi. Bahkan, menjelang adanya aksi 212, Sidogiri
mengutus beberapa orang kepada Kiai Said Aqil untuk meminta pertimbangan
kepada beliau, di samping kepada Kiai Ma’ruf Amin, Kiai Maimun dan
Habib Rizieq.
Yang dikritik oleh Sidogiri dari Kiai Said adalah
beberapa poin pemikirannya yang dianggap tidak sesuai dengan kitab yang
dipelajari oleh santri-santri di Sidogiri (tidak lebih). Kiai Said sudah
dua kali diundang ke Sidogiri untuk ditabayyun mengenai
pemikiran-pemikiran tersebut. Beliau datang, dan terjadi dialog ilmiah
yang cukup panas tapi bermartabat.
Kedua, mengenai adanya alumni
Sidogiri yang kadangkala mencela Kiai Said dengan bahasa yang kurang
sopan misalnya, maka hal itu adalah kecenderungan pribadinya—sebagaimana
beberapa alumni Sidogiri yang pro Kiai Said, hal itu juga kecenderungan
pribadinya. Keduanya sama-sama tidak mewakili Sidogiri. Menurut saya,
alumni yang menolak kepemimpinan Kiai Said atau mencelanya dengan
bahasa-bahasa yang kasar dan tidak ilmiah, hal itu sudah
kebablasan—sebagaimana alumni yang mendukung pemikiran Kiai Said Aqiel
secara membabi buta, hal itu juga kebablasan.
Sedangkan
mengkritik pemikiran, kebijakan, dan langkah-langkah Kiai Said dalam
membawa NU, dengan bahasa yang santun dan ilmiah, maka hal itu merupakan
sesuatu yang sangat wajar. Hal itu merupakan bentuk dinamika sehat
yang harus dirawat dalam organisasi sebesar Nahdlatul Ulama. Pendukung
Kiai Said seharusnya tidak terlalu alergi dalam menyikapi polemik ilmiah
dan kritik-kritik yang membangun.
Ketiga, mengenai sikap
Sidogiri yang saat ini seolah-olah terlihat keras, hal itu bukan karena
Sidogiri berubah, tapi karena tantangannya yang berubah. Tentu bukan
suatu yang bijak, menyikapi tantangan yang berbeda dengan strategi dan
cara yang sama.